Jumat, 30 Maret 2012

Pernyataan Iman Kepada Allah SWT

Pernyataan Iman Kepada Allah SWT

Pernyataan "Antu'mina billlahi“ (Aku beriman kepada Allah) merupakan pernyataan yang tidak asing lagi bagi kita sebagai seorang muslim, bahkan sejak usia dini pun pernyataan seperti itu sudah sangat kita hafal. Kita juga dapat memastikan bahwa keimanan kepada Allah merupakan keimanan yang pertama kali dituntut untuk ditanamkan kedalam setiap hati orang islam dan ia merupakan rukun iman yang enam.
Pada suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh malaikat Jibril tentang apa itu iman, maka beliau menjawab
“Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman dengan takdir, yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim)
Kemudian setelah kita menelaah hadis tersebut di atas, sudah sejauh manakah pemahaman kita terhadap pernyataan keimanan ini? Pernyataan beriman kepada Allah, sangat sederhana ungkapan itu, namun pada hakikatnya mengandung makna yang sangat mendalam. Karena pernyataan ucapan seseorang terhadap keimanan tidaklah cukup dengan sekedar mengakui bahwa Allah adalah Sang Pencipta dan Pemberi Rezeki. Bukankah kaum musyrikin pun pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga dapat dengan mudah mengakui bahwa mereka telah beriman, padahal kenyataanya sangat jauh panggang dari api. Lalu bagaimanakah pernyataan iman yang benar? Jangan sampai pengakuan iman kita tidak ada bedanya dengan pernyataan orang-orang musyrik seperti tersebut di atas, sebagaimana Allah SWT berfirman dal Al-Qur'an yang artinya, 
“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 9)
Mungkin kita pernah mendengar apa yang disebut taklid, yaitu suatu perbuatan yang dilakukan tidak dengan ilmunya, melainkan cuma karena ikut-ikutan saja. Agar kita tidak termasuk dalam kategori taklid (ikut-ikutan) dalam beriman serta dapat memahami pernyataan keimanan ini secara benar, maka keimanan kepada Allah harus mengndung empat unsur  di dalamnya yang saling berkaitan.

Pertama, keimanan kepada wujudullah (adanya Allah ta’ala). Unsur pertama ini menepis anggapan bahwa Allah tidak ada. Dengan demikian hal ini merupakan suatu penjernihan buat hati kita, serta memperjelas pandangan kita bahwa pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak ada merupakan pendapatan yang sangat salah dan batil. Maka bagi kita sebagai umat Islam, semakin jelaslah bahwa keberadaan Allah subhanahu wa ta’ala jelas nyata, baik secara fitrah, akal, syar’i maupun secara indrawi.

Secara fitrah, Kita yakin seyakin-yakinnya bahwa setiap makhluk sudah pasti mengimani adanya Dzat yang menciptakan. Keimanan ini tanpa harus adanya ikhtiar untuk berpikir atau mempelajari terlebih dahulu, keimanan ini secara fitrah manusia sudah dapat menyakini dan dapat dibuktikan walaupun tanpa harus adanya pembuktian ilmiah, karena bukti keberadaan Allah SWT sudah sangat jelas. Dengan demikian jika tidak ada kesesuaian dengan fitrah, maka ini terjadi pasti karena ada sesuatu hal yang memasuki hatinya dan memalingkannya dari fitrah tersebut. Sebagaimanana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, yang arrtinya: “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Lalu orangtuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Secara aqliyah (akal), maka kita mengetahui tidak mungkin sesuatu ada tanpa ada yang menciptakan dan kita juga mengetahui kita tidak menciptakan diri-diri kita sendiri. Maka jelas ada Dzat yang menciptakan, dan Dia-lah Allah SWT. 

Secara dalil syar’i, sbagai seorang muslim tentu kita mengetahui dengan sangat yakin bahwa setiap kitab samawi tentu di dalamnya membahas tentang adanya Allah ta’ala. Dalam kitab-kitab samawi pada ayat-ayat yang ada yang berisi hukum-hukum tentang manfaat untuk makhluk, hal ini menunjukkan bahwa Allah itu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui apa yang membawa manfaat bagi makhluk-Nya. Dan ayat-ayat yang berisi khobar kauniyah dapat kita saksikan berupa kejadia atau peristiwa-peristiwa yang sesuai dengan yang diberitakan tersebut, dan ini menunjukkan bahwa Allah Maha Kuasa untuk mewujudkan peristiwa yang telah diberitakan-Nya.

Lalu secara Indrawi, keberadaan Allah juga dapat kita ketahui dengan dua cara, yaitu dari terkabulnya do’a dan dari mu’jizat para Nabi dimana manusia dapat menyaksikan atau mendengar mukjizat tersebut. Ini adalah sebuah kenyataan yang pasti akan adanya Dzat yang mengutus para Nabi tersebut dan Dia-lah Allah ta’ala.

Kedua, keimanan kepada sifat rububiyah Allah ta’ala, yaitu kita mengimani bahwa hanya Allah Rabb semesta alam dan tidak ada satupun sekutu bagi-Nya. Hanya bagi-Nya-lah hak untuk mencipta, menguasai dan memerintah. Tidak ada seorang pun yang mengingkari sifat rububiyah Allah ini kecuali orang-orang yang sombong yang meragukan perkataan mereka sendiri.

Keimanan pada sifat rububiyah Allah telah diakui oleh kaum musyrikin pada zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari -Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (QS. Al Muminun [23]: 84-89)

Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk kita tidak menerima kenyataan bahwa Allah ta'ala itu ada, dan kita juga mengetahui unsur yang ketiga dari keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu keimanan kepada sifat uluhiyah Allah ta’ala, yaitu mengimani bahwa hanya Allah-lah yang berhak disembah dan tidak ada satu pun sekutu bagi-Nya. Allah ta’ala berfirman, “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 163)

Dari sekian dakwan yang disampaikan oleh Rasulullah saw. adalah Dakwah Rasulallah tentang sifat uluhiyah yang ditolak oleh kaum musyrikin, karena mereka telah mengambil tuhan-tuhan selain Allah ta’ala yang mereka meminta pertolongan dan memberikan pengorbananan pada sesembahan- sesembahan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala telah membatilkan perbuatan kaum musyrikin itu serta orang-orang yang membuat sekutu-sekutu bagi-Nya dengan dua dalil secara akal.
 

Sesembahan mereka tidak memiliki kekhususan dari sifat-sifat uluhiyah Allah, mereka tidak menciptakan tetapi diciptakan, mereka tidak dapat memberi manfaat, tidak dapat menolak bahaya dan sifat-sifat yang tidak mungkin dapat dimiliki selain Allah ta’ala. Sesungguhnya kaum musyrikin mengakui bahwa Allah ta’ala adalah satu-satunya Pencipta (pengakuan pada sifat rububiyah Allah). Maka pengakuan mereka tersebut seharusnya melazimkan bagi mereka untuk tidak menyekutukan Allah dalam perkara uluhiyah Allah.

Keempat, wajib mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala yaitu nama-nama dan sifat-sifat yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya atau Sunnah Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan tanpa melakukan tahrif, ta’thil, takyif, tamtsil dan tafwidh. Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-A’raaf, “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raaf [7]: 180)

Penetapan nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah wa ta’ala bukan berarti mengharuskan kita untuk melakukan perbuatan yang menyerupakan atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Maha suci Allah dari segala penyerupaan tersebut. Allah telah menyatakan dalam firman-Nya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syuura [42]: 11)

Demikianlah... Dengan keimanan yang benar pada Allah subhanahu wa ta’ala, maka akan meperbaiki ketauhidan kita kepada Allah ta’ala yaitu dengan tidak menyembah kepada selain-Nya, menyempurnakan kecintaan kepada Allah serta memperbaiki amal ibadah dengan apa yang diperintahkan oleh Allah ta’ala dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Semoga kita kini memahami dengan makna yang benar dari pernyataan, “Aku beriman kepada Allah”


Berimanlah kepada Allah ta’ala secara utuh! Janganlah sekali-kali kita meninggalkan salah satu dari empat unsur keimanan pada Allah tersebut. Jika kita tinggalkan unsur pertama, maka kita termasuk orang-orang sombong yang membohongi diri sendiri. Jika kita tinggalkan unsur kedua, maka berarti kita tidak lebih baik dari kaum musyrikin pada masa Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Jika kita tinggalkan unsur ketiga, maka kita akan terjerumus dalam perbuatan syirik yang Allah ta’ala tidak akan mengampuni sebelum kita bertobat. Jika kita tinggalkan unsur keempat, maka kita telah mengingkari apa yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya. 

Wallahu musta’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar