Dulu waktu saya masih kecil,
seusia Putri (ponakan saya), setiap azan Maghrib berkumandang, seta merta anak-anak
dengan penuh semangat berhamburan dari tempat bermainnya menuju mushola masing-masing.
Ada yang pergi ke mushola Nurul Huda, Mushola Al-Hulaemi, ada juga yang pergi
ke masjid desa. Tidak ada satu pun dari mereka yang pulang ke bermain langsung
ke rumah dan nonton televisi seperti anak-anak masa kini, selain memang waktu
itu di desa saya belum ada televisi . Setibanya di mushola atau masjid
anak-anak seusiaku bercampur dengan
orang tua, tetapi tetap sopan tertib walau berdesakan, dan mulai mengambil air wudhu dan memenuhi tempat ibadah yang kecil di sekitar rumah tempat tinggal mereka. Anak-anak seusiaku pun mulai terbiasa melaksanakan shalat berjamaah, khususnya Maghrib dan Isya. Diantara shalat Magrib dan Isya tidak ada yang berani pulang ke rumah sebelum mengaji ke pa kiayi masing-masing. Entah kenapa saat itu kepatuhan begitu melekat pada jiwa anak-anak.
orang tua, tetapi tetap sopan tertib walau berdesakan, dan mulai mengambil air wudhu dan memenuhi tempat ibadah yang kecil di sekitar rumah tempat tinggal mereka. Anak-anak seusiaku pun mulai terbiasa melaksanakan shalat berjamaah, khususnya Maghrib dan Isya. Diantara shalat Magrib dan Isya tidak ada yang berani pulang ke rumah sebelum mengaji ke pa kiayi masing-masing. Entah kenapa saat itu kepatuhan begitu melekat pada jiwa anak-anak.
Seperti halnya saya, waktu itu
(masih ingat betul) mengaji di mushola yang sangat jauh dari rumah, rumahku
berada diujung desa Karangkancana (blok Paseban) sementara tempat mengajiku
berada di blok rebo yaitu mushola Nurul Huda. Hal ini terjadi karena memang
mushola tersebut kepunyaan pamanku Kiayi
Uci Sanusi (dulu masih dipegang oleh kakeknya paman / Ky. Djubed).
Demikian pula halnya dengan
anak-anak yang lain di mushola masing-masing, sambil menunggu waktu Isya, mereka
dibimbing oleh seorang ustaz atau kiayi yang biasanya menjadi imam masjid atau
mushola tersebut. Mulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga penyempurnaan
bacaan. Tergantung pada tingkatan usia dan kemampuan anak-anak, walaupun metode
yang digunakan masih sangat sederhana yaitu sorogan (mengaji dengan bergiliran menghadap
langsung pengajar) namun antusias anak-anak saat itu patut dibanggakan. Kondisi
seperti ini biasanya berlangsung sampai usia kami mencapai 15 tahun, karena
setelah itu, ada diantara anak-anak yang sudah remaja mulai bekerja membantu
orang tuanya, ada yang ikut berjualan ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya
seperti Bandung, Bekasi, Bogor, dan Tangerang.
Namun yang patut diteladani
dan juga menjadi suatu bahan kajian untuk kondisi saat ini adalah, kenapa saat
itu anak-anak begitu patuh dan antusias melaksanakan shalat berjamaah dan
belajar mengaji, padahal kiayi saat itu seperti yang saya rasakan bisa dibilang
galak, dalam arti jika ada kesalahan dalam melafalkan huruf tidak segan-segan
memberikan hukuman, sangat berbeda dengan kondisi saat ini, tidak sedikit
seorang guru ngaji memberikan hadiah dan berbagai bentuk motivasi agar
anak-anak rajin pergi ke mushola, tetapi justru semakin sedikit diantra mereka
yang enggan melaksanakannya. Oke… ini mungkin sebuah pergeseran nilai, waktu
dan kondisi,, tetapi yang jelas pasti ada alasannya.
Pada waktu dulu, biasanya untuk
memenuhi kebutuhan berislam secara baik, anak-anak pun belajar di masjid atau mushola
di sekitar rumahnya dengan guru mengaji seorang ustaz atau ajengan kecil.
Begitu beranjak dewasa, mereka sudah terbiasa menjalankan kewajiban rukun Islam,
seperti shalat dan puasa. Ini adalah Sebuah pembiasaan yang sangat efektif. Bahkan,
diharapkan ketika mereka beranjak dewasa akan siap menjadi imam shalat di
masjid, jika sewaktu-waktu diperlukan. Bacaan Alqurannya fasih meski tidak
sebagus para qari-qariah. Mereka juga menguasai syarat-rukun dan kaifiyat (tata
cara) beribadah lengkap dengan bacaan doa-doanya.
Sunggung sebuah pemandangan
yang sangat menyejukkan hati, seolah tiada hari tanpa alunan ayat-ayat suci
al-Qur’an. Jika malam tiba, walau dengan penerangan yang sangat sederhana
menggunakan lampu cempur dari minyak tanah (kerena saat itu belum ada Listrik
Masuk Desa), akan terdengan suara yang patah-patah seorang anak usia dini
sedang menghafal bacaan Al-Qur’an di rumahnya. Bukan saja itu, karena anak-anak
dapat belajar membaca Alquran, tapi juga karena mereka otomatis terhindar dari
berbagai aktivitas yang merugikan. Mereka terbimbing dalam pergaulan, sekaligus
terbentuk dalam suasana sosial yang sehat dan agamis.
Sayangnya, pemandangan itu
kini sudah semakin langka ditemukan. Ceritanya sudah berubah. Bukan lagi
mengalir menuju masjid, tapi ketika sore hari menjelang malam justru menjauh
dari masjid dan terkonsentrasi di depan televisi. Ustaz dan guru mengaji
semakin kehilangan anak-anak mengaji. Wajar jika jumlah buta huruf Alquran
semakin semakin hari semakin membengkak bahkan dari tahun tahun ke tahun
semakin tak terhitung jumlahnya. Kemampuan membaca Alquran dan kebiasaan
beribadah pun semakin menurun.
Subhanallah,, kenangan kecil
dengan segala suka dukanya, namun tetap meninggalkan kesan yang indah. Semuanya
masih tersimpan di memori otakku sampai saat ini. Kebersamaan dan kerukunan di
masa kecil dalam mengikuti berbagai Kegiatan keagamaan di masjid dan mushola
tidak akan pernah terlupakan. Tetapi ketika melihat kondisi saat ini, sungguh
sangat memprihatinkan. Suatu ketika saya ikut shalat berjamaah di Mushola
tempatku mengaji dulu waktu kecil (pada waktu silaturrahim) ke mushola Nurul
Huda, tidak lagi terlihat kerumunan anak yang melingkari pa kiayi, tidak lagi
terdengar lantunan sholawat seperti dulu, yang ada pemandangan yang sangat
menyedihkan, mushola diisi sebagian kecil saja anak-anak seusia SD, bahkan yang
saya lihat ketika pulang dari mushola, anak-anak berkerumun di depan rumahnya
masing-masing sambil bersenda gurau dan ada sebagian lagi yang dengan asiknya
bersila di depan televisi. Lalu salah siapakah ini? Tidak ada yang perlu
disalahkan, tetapi yang penting marilah kita mulai dari diri orang tua
masing-masing, ajaklah anak-anak kita pergi ke Mushola.
Tetapi ini bukanlah Sebuah penelitian
yang menggunakan rumus survey yang valid, tetapi setidaknya dapat dijadikan
tolok ukur bagi kita saat ini. Tentu ada diantaranya anak yang dimungkinkan
mengikuti kegiatan belajar Alquran di luar lembaga, seperti TPA, MD, dan RA, atau
Pengajian yang diselenggarakan oleh individu, seperti di rumah dengan memanggil
ustaz sendiri. Namun, jumlahnya diduga kuat tidak signifikan. Dalam bingkai
potret masyarakat seperti inilah, upaya memelihara kembali tradisi mengaji akan
menjadi tetesan air di tengah dahaga semakin meningkatnya angka buta huruf
Alquran. Akankah kerinduan suasana seperti dulu dapat diwujudkan… Jawabannya
ada pada kita semua…
Wallahu’alam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar